Rabu, 07 Mei 2008


Pemilu lewat internet

Pemilu lewat internet mulai sering kita dengar. telset merangkum ujicoba e-voting di sejumlah negara dari berbagai sumber. Banyak kritikan, tapi menjanjikan.

Pemilu 2004 tinggal hitungan hari. Banyak media sudah menyediakan halaman, rubrik atau jam tayang khusus membahasnya. Partai-partai politik pun mulai rajin unjuk diri. Perlukah majalah ini menulis seputar pelaksanaan pemilu? Perlu! Karena Anda pasti membutuhkan informasi lain soal hajatan besar yang hanya berlangsung lima tahun sekali itu.

Sejumlah negara sudah mulai memperkenalkan pemilu dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Di Benua Biru, Komisi Eropa aktif mengembangkan sistem teknologinya sejak beberapa tahun lalu. Pihak swasta, seperti Nokia dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat digandeng.

Program yang dinamai Information Society Technologies 1999, itu targetnya menciptakan sistem elektronik untuk pemilu yang aman. Pemilih bisa menyalurkan suaranya memakai ponsel, PDA, komputer dan perangkat lain yang bisa dipakai untuk mengakses internet. Mempermudah pemilih, hasil lebih akurat, tak ada lagi kerusakan kertas suara dan mempercepat penghitungan suara. Bagaimana hasil ujicoba itu?

Kista, Stockholm, Swedia
Proyek ujicoba ini dilakukan awal 2003 lalu. Warga kota Kista ternyata menyambut antusias proyek Komisi Eropa ini. Selama tiga hari pelaksanaaan 226 orang ikut berpatisipasi. Cukup repot juga panitia. Soalnya banyak juga orang berusia di atas 55 tahun ikut mencoba. Seperti halnya di Indonesia, kaum manula itu tak terbiasa mengakses internet. Jadi, panitia musti membimbingnya satu-persatu.

Pemilu ujicoba itu dipusatkan di dekat perpustakaan umum di pusat kota. Panitia menyediakan tiga kios (semacam bilik suara), sebagai tempat pemilih �mencoblos' partai atau calon wakilnya di parlemen. Di dalam kios itu tak ada �paku' dan busa untuk landasan mencoblos. Melainkan komputer dan ponsel Nokia, Communicator 9210 untuk akses internet.

Sebenarnya pemilih pun bisa melakukannya dari tempat tinggal masing-masing. Namun dari ratusan peserta itu hanya satu yang mempraktekkannya. Mayoritas datang ke tempat ujicoba sambil mengumpulkan informasi. Ternyata banyak juga warganegara Swedia yang gatek. Bayangkan, �benda' yang namanya mouse saja belum tahu fungsinya. Bahkan tak sedikit yang belum pernah meyentuh komputer. Wajar bila akhirnya memakan waktu untuk �memencet' pilihannya. Seorang pemilih rata-rata membutuhkan waktu lima belas menit di dalam kios.

Saat mendaftar pemilih juga concern soal keamanan �suara'nya. Panitia memberikan surat dalam amplop tertutup berisi kode pin, seperti saat kita menerima kartu ATM. Syaratnya pemilih harus menunjukkan identitasnya seperti KTP, SIM, atau paspor. Setelah �mencoblos', kertas berisi kode pin itu harus dikembalikan pada panitia. Ini untuk mencegah terjadinya pemakaian kode rahasia itu lebih dari sekali.

Ujicoba itu dilaporkan berjalan dengan sukses. Secara teknologi, terutama jaringan internet pun tak ada kendala berarti. Sebab dilakukan di pusat kota dengan infrastruktur yang sudah baik. Yang jadi evaluasi panitia adalah soal lamanya waktu pemilih berada di dalam bilik suara. Masih lebih lama daripada cara manual.

Issy les Moulineaux, Perancis

860 sukarelawan dilibatkan dalam ujicoba pemilu dengan sistem cybervote, Desember lalu. Peserta sebagian hadir di kios pemilihan. Yang lain melakukannya dengan PC di rumah atau kantornya masing-masing. Ujicoba itu diselenggarakan oleh CNIL (Kantor Perlindungan Data Perancis) dan dihadiri pejabat terkait dari CNIL, Kementerian Interior, dan Kementerian Industri dan CNRS.

Laporan hasil ujicoba itu juga menyatakan sukses. Penghitungan suara akhir memakan waktu kurang dari sepuluh menit. Saat proses pemilihan, pemilih yang hadir di kios umumnya tak menemui hambatan berarti. Sedangkan yang lewat rumah banyak yang mengalami keterlambatan proses mengakses. Itu terjadi pada para pelanggan internet lewat modem. Dibutuhkan waktu download hingga empat puluh lima menit untuk menunggu. Sementara yang berlangganan via ADSL dan kabel lancar-lancar saja.

Khusus pemilih yang memakai komputer kantor dengan jaringan broadband, sama dengan datang ke kios. Tak ada istilah �internet lelet'. Untuk keamanan suara, cybervote menyediakan port khusus. Jadinya, tanpa izin khusus semua perusahaan tak bisa terhubung dengan sistem itu.

Bremen, Jerman

Rada berbeda dengan di Perancis dan Swedia. Peserta di Bremen dibekali dengan kartu pintar (digital signature card) untuk menyalurkan suaranya. Ujicoba itu dilakukan oleh Universitas Bremen untuk memilih �pejabat' rektorat, dekanat, dan senat mahasiswa pada Januari 2003 selama dua hari.

Untuk menyalurkan aspirasinya, mahasiswa musti datang ke gedung Perpustakaan Fakultas Administrasi Universitas Bremen. Di sana disediakan PC dengan smart card reader. Untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan saat memilih perpustakaan itu hanya dibuka pada jam-jam tertentu saja.

Untuk keamanan suara, smart card sudah dilengkapi teknologi asymmetric encryption. Server pun sudah terhubung dengan secure client server sampai jaringan intranet balai kota Bremen. Mungkin lantaran terbatasnya PC dengan smart card reader plus terbatasnya jam buka perpustakaan menjadikan sedikit peserta. Hanya 47 mahasiswa yang memilih, atau seperlima dari jumlah seluruh pemegang smart card.

Proses �pencoblosan' hanya memakan waktu 60-90 detik. Itu sudah termasuk otentifikasi dengan memasukkan PIN kartu pintar pada card reader, memilih tiga kandidat, dan mengeluarkan kartu itu. Sedangkan masa penghitungan suara kurang dari sepuluh menit. Tak ada kesulitan yang dialami peserta. Soalnya mirip dengan cara memakai kartu debit di mesin ATM.

Tidak ada komentar: