Senin, 27 Oktober 2008

Matinya Kamera Saku


Senin, 27 Oktober 2008 | 01:59 WIB

Ponsel berkamera bertubi-tubi meluncur ke pasar. Sepuluh tahun lalu, melihat ponsel berkamera VGA saja sudah seperti melihat barang mewah yang menggiurkan. Memandang orang menenteng ponsel berkamera VGA seperti melihat orang yang menenteng harta mentereng ke mana-mana.

Ponsel, baik berkamera maupun tidak, menjadi bagian dari kehidupan dan gaya hidup. Ponsel merupakan kebutuhan utama dan bukan lagi barang mewah. Ponsel berkamera pun menjadi bagian dari gaya hidup modern.

Perkembangan teknologi ponsel berkamera semakin kencang di kedua bidang, baik teknologi seluler maupun teknologi fotografi. Fasilitas 3,5G dan Wi-Fi menjadi atribut wajib. Di sisi fotografi, angka megapiksel (mp) semakin besar, kualitas lensa semakin baik, dan fasilitas lampu kilat semakin memadai.

Ponsel berkamera yang beredar di pasaran secara resmi diyakini sudah mencapai resolusi 8 mp dengan lensa buatan sendiri dan flash. Teknologi seluler di ponsel tersebut sudah mengakomodasi jaringan 3,5G dan Wi-Fi. Adapun kamera saku yang beredar di pasaran memang sudah mencapai resolusi 14,7 mp.

Lebih andal

Secara riil, pasar lebih memprioritaskan harga ketimbang resolusi, meski tak mengenyampingkannya. Misalnya, ponsel berkamera terkini dan resolusi 8 mp berharga Rp 8 juta tentu lebih menarik ketimbang kamera saku resolusi 8 mp berharga sama. Kamera saku tak bisa dipasangi SIM card, sementara ponsel berkamera bisa memotret dan dilengkapi lampu kilat pula.

Dan, bukan tak mungkin resolusi 14,7 mp itu bisa segera disamai ponsel berkamera. Sebuah ponsel berkamera buatan China sudah mengadopsi perangkat keras teknologi fotografi secara hampir utuh. Ponsel berkamera 8 mp tersebut dilengkapi lensa yang besarnya sama dengan kamera saku. Diyakini, besar sensornya menyamai besar sensor yang ditanam di kamera saku dan kualitas gambar pun hampir sama.

Kamera digital memang diproduksi pertama kali dalam bentuk kamera saku. Sony merilis seri Mavica (Magnetic Video Camera) pertama kali tahun 1981. Teknologi digital berkembang terus memungkinkan produksi kamera saku dengan teknologi sensor yang lebih andal dan teknologi penyimpanan (storage) yang lebih aman.

Ponsel dan kamera yang disatukan diyakini pertama kali dirilis secara komersial oleh Sharp dengan produk berkode J-SH04 atau akrab disebut J-Phone. Ponsel berkamera pertama ini dirilis November 2000 beresolusi 0,1 mp. Dan, perkembangan teknologi, baik fotografi digital maupun seluler, terus melaju bak grafik deret eksponensial terhadap waktu.

Seandainya teknologi ponsel berkamera terus saja menyamai teknologi kamera saku, pasti konsumen lebih memilih kamera yang bisa menelepon atau telepon yang bisa memotret. Apalagi teknologi fotografi yang ditanam di ponsel semakin membaik saja. Di kamera saku ada teknologi pendeteksi wajah (face detection), demikian pula di ponsel berkamera 8 mp.

Fasilitas penghilang efek mata merah (red eye reduction) pun sudah ada di ponsel berkamera. Bahkan, ponsel berkamera 8 mp juga sudah dilengkapi memori internal 16MB, fasilitas yang tak dijumpai di kamera saku terkini karena semata-mata mengandalkan kartu memori.

Bahasa fotografi

Publik yang semakin akrab teknologi sudah bisa dipastikan identitasnya. Mereka adalah orang-orang yang akrab internet dan punya e-mail, didukung penyedia jasa seluler yang membuat SIM card yang di-set sambungan internet secara otomatis. Mereka juga adalah orang-orang yang bergaul secara maya melalui jaringan interaktif sosial atau suka membaca dan menulis blog. Sudah tentu, mereka pun sebagian besar akrab dengan fasilitas chat di online messenger.

Orang awam yang gaptek saja paham fotografi meski hanya point and shoot. Sudah tentu pribadi-pribadi yang akrab teknologi digital populer menjadi penikmat fotografi pula. Di mana-mana anak-anak perempuan ABG suka memotret diri sendiri. Dulu hanya bisa di photo box, tetapi sekarang, ponsel berkamera amat memanjakan para ABG putri dengan kesenangan mengabadikan diri sendiri.

Alasan lain, ponsel kamera bisa mengalahkan kamera saku adalah dimensi. Kamera saku ukuran kompak tentu tak sulit ditandingi ponsel berkamera. Ponsel berkamera mengandung dua fungsi, telepon dan fotografi, sementara kamera saku tak bisa mengirim SMS apalagi chatting sambil menulis blog.

Sungguh menyenangkan menjalani aktivitas sehari-hari, baik pada saat bekerja maupun pada saat liburan jika bisa memotret dan membagikannya langsung via internet. Lebih menyenangkan lagi jika menyadari papan ketik di ponsel berkamera nyaman untuk menulis blog. Ponsel berkamera punya papan ketik, tetapi kamera saku tidak.

Maka, jadilah sebuah gaya hidup baru, yakni berbagi keseharian melalui bahasa visual fotografi secara maya.

Mengantongi dua benda mahal tentu merepotkan. Menjaga keduanya menuntut perhatian ekstra agar tak hilang atau tertinggal. Ada orang yang bisa meninggalkan rumah tanpa kamera, tetapi tidak tanpa ponsel. Semboyan para penggemar fotografi, ”jangan tinggalkan rumah tanpa kamera,” akan mudah dilaksanakan dengan kehadiran ponsel berkamera.

Ancaman kamera saku semakin nyata ketika para pedagang kamera menjerit mengenai profit margin yang menipis ketimbang produk kamera besar alias DSLR (Digital Single Lens Reflex). Jeritan semakin keras ketika produsen DSLR meliris DSLR kelas pemula yang harganya semakin murah dan beda tipis dengan kamera saku. Berjualan kamera saku akan diimpit dua pihak, pedagang ponsel dan pedagang DSLR.

Lengkaplah alasan yang membuat kamera saku menjadi produk yang akan meredup. Saat ini lonceng telah berbunyi. Gemanya memang tak langsung terdengar. Tapi, jika tak bersiap, jangan menyesal ketika opini ini terwujud nyata.

Kristupa Saragih Fotografer dan Administrator Fotografer.net

Tidak ada komentar: