Rabu, 12 November 2008

Media Massa


Kesehatan Psikologis Publik Harus Dijaga
Selasa, 11 November 2008 | 00:11 WIB

Jakarta, Kompas - Media massa memang seperti pisau bermata dua, memiliki fungsi dan disfungsi sekaligus. Fungsi media menginformasikan realitas pada akhirnya memberi dampak sampingan yang negatif. Dengan kesadaran itu, media perlu lebih mengendalikan diri. Sebab, bagaimanapun media juga harus menjaga kesehatan psikologis masyarakat.

Hal itu dikemukakan Ibnu Hamad, pengajar Etika Media dari Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Senin (10/11). Ibnu mengemukakan pendapatnya terkait gejala peniruan atau imitasi praktik kejahatan dan kekerasan oleh masyarakat melalui media massa.

”Dalam hal berita kriminal, tidak lantas media tidak memberitakan sama sekali. Tetapi, ini soal penyajiannya,” kata Ibnu.

Ibnu mengatakan, upaya media mengaburkan gambar-gambar yang mengerikan saja tidak cukup. Media juga sepatutnya tidak menampilkan, termasuk secara grafis, soal rekonstruksi tentang teknis sebuah kejahatan dilakukan. Hal ini untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan publik terinspirasi oleh pemberitaan kriminal atau kekerasan.

”Publik memang perlu dipenuhi kebutuhannya untuk tahu informasi. Namun, harus diingat, publik juga harus dijaga kesehatan moralnya,” kata Ibnu.

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Fachmi Idris menyebutkan, lembaga-lembaga yang terkait dengan media massa harus memberikan sanksi yang konsisten kepada media yang merasionalisasikan pemberitaan tanpa mengindahkan dampak negatif terhadap kesehatan jiwa, dan psikososial masyarakat. ”Sudah banyak kajian yang membuktikan pemberitaan kerap menimbulkan coping mechanism (peniruan) yang cenderung patologis, baik terhadap individu maupun masyarakat luas,” kata Fachmi.

Kekacauan nilai

Harry Susianto, psikolog sosial dari Universitas Indonesia, mengungkapkan, masyarakat yang terus-menerus dicekoki nilai-nilai kekerasan lama-kelamaan menganggapnya lumrah dan tidak lagi sensitif. Akibat luasnya, nilai dan norma menjadi kacau. Baik dan benar menjadi rancu.

”Media harus berani bersikap untuk mengabaikan hal-hal yang bisa berdampak buruk bagi publik,” ujar Harry.

Ratna Mardiyati, Direktur Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heertjan, Jakarta, menjelaskan, kondisi sosial ekonomi yang sudah penuh tekanan menjadi rentan dipicu oleh tontonan kekerasan di media massa. Contoh sederhana, tindakan mendorong-dorong pagar ketika berunjuk rasa seakan menjadi tren di setiap demonstrasi. Tren itu diadopsi dari media. (SF/ONG)

Tidak ada komentar: