Selasa, 25 November 2008

Mabuk Dunia Maya, sampai Lupa Etika


KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Lebih dari seribu blogger berkumpul di acara Pesta Blogger 2008 di Jakarta, Sabtu (22/11).
Minggu, 23 November 2008 | 03:00 WIB

Oleh Ninuk Mardiana Pambudy & Budi Suwarna

Munculnya ”blog” berisi kartun berbahasa Indonesia yang menggambarkan fisik Nabi Muhammad SAW kembali bikin heboh. Wordpress, situs tempat ”blog” itu berada, menutup akses ke ”blog” tersebut pada Rabu (19/11) malam begitu siangnya ada permintaan dari Pemerintah Indonesia.

Sepekan sebelumnya, pemasar PT Bahana Securities terpaksa berurusan dengan pihak berwajib gara-gara mengirim surat elektronik kepada kliennya soal lima bank yang dilanda kesulitan likuiditas tanpa memverifikasi informasi itu. Juga masih menempel di ingatan heboh film Fitna yang dimasukkan dalam situs YouTube.

Daftar masalah yang muncul di dunia maya bisa amat panjang, tetapi manfaatnya, untungnya, jauh lebih besar. Dunia maya berkembang amat cepat ke arah yang tidak terbayangkan sebelumnya. Siapa saja bisa bergabung di sana dan apa saja dapat disampaikan di sana. Hasilnya, banyak kemungkinan terjadi.

”Saat ini masyarakat dalam euforia merasakan kebebasan mengeluarkan pendapat apa saja di dunia maya sampai-sampai lupa ada etika di sana,” Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia Sylvia Sumarlin.

Euforia itu muncul, antara lain, dalam bentuk penyelenggaraan Pesta Blogger 2008, Sabtu kemarin, di Kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. Ini acara tahunan kedua para blogger yang diikuti sekitar 1.500 orang. Jumlah itu pun, menurut ketua panitia, Wicaksono, terpaksa dibatasi karena tempat. Sebelum di Jakarta, acara sejenis sudah diadakan di Bali dan Yogya dengan mengundang lima blogger asing, salah satunya Jeff Ooi, blogger asal Malaysia yang punya blog politik.

Sehari sebelumnya, Komunitas Blogger BHI (Bundaran Hotel Indonesia) mengadakan Muktamar Blogger II. Seperti namanya, acara itu diadakan di tepi Bundaran HI, di trotoar di depan Plaza Indonesia. Mereka rutin kumpul di sana tiap Jumat malam sepulang kerja.

”Acara kemarin malam penutupan kampanye Gerakan Seribu Buku. Lumayan, dapat 1.500 buku yang kami kirim ke sekolah di Yogya, Cilacap, dan Jakarta,” kata Saiful (31), asal Cilacap, pendiri BHI bersama Bachtiar.

”Blog”

Blog kini menjadi salah satu cara berkomunikasi di dunia maya yang lumayan populer di Tanah Air. Wicaksono, pemilik blog ndorokakung.com, memperkirakan ada tak kurang dari 500.000 blog yang dibuat orang Indonesia dan membentuk 34 komunitas.

”Jumlah pembuat sulit diketahui karena satu orang bisa punya lebih dari satu blog,” kata Wicaksono yang bekerja sebagai Redaktur Koran Tempo.

Berawal dari kata web log, blog awalnya adalah catatan harian yang ditempelkan (posting) ke sebuah situs yang dapat diakses siapa saja. Blog menjadi semakin populer ketika kemudian tersedia situs yang menyediakan diri sebagai rumah gratis bagi blog, seperti Blogspot dan Wordpress.

Apabila di dunia internasional blog mulai dikenal tahun 1998, di Indonesia, kata Wicaksono, peminatnya mulai muncul tahun 2004 dan meningkat tajam pada tahun 2007.

”Uniknya, di Indonesia paling-paling hanya 5 persen yang bicara politik. Mengherankan juga karena sekarang ruang untuk berpendapat jauh lebih bebas,” kata Wicaksono. Lainnya berisi mulai dari kuliner, wisata, atau perjalanan, jual-beli, hingga prosa dan puisi. Beberapa blog begitu populernya sehingga dapat membangkitkan nilai ekonomi.

Blog naked-traveler.blogspot.com milik Trinity yang berisi catatan perjalanan, misalnya, menghasilkan buku The Naked Traveler yang dua kali naik cetak dengan jumlah 30.000 buku. Blog kambingjantan.com milik Raditya Dika, yang sekarang sudah dia tutup, menghasilkan buku dan film.

Sebagai media yang dianggap lebih demokratis dan lebih jujur dari media tradisional dengan pendekatan jurnalistik, seperti media cetak, televisi, atau radio, blog memuat apa saja. Laporan dari tempat kejadian yang disajikan tanpa terikat kaidah jurnalistik yang menuntut antara lain verifikasi informasi, melaporkan secara seimbang, atau persyaratan tak memuat unsur yang menimbulkan ketegangan antaragama, suku, ras, dan antargolongan (SARA) bisa memberi perspektif berbeda terhadap suatu peristiwa.

Melihat keleluasaan blog yang tidak dibatasi jumlah halaman atau waktu penyiaran, blog belakangan juga digunakan media jurnalistik sebagai sarana wartawannya melaporkan hal-hal yang tidak dapat dituliskan di media utama. Majalah The Economist, misalnya, yang memuat informasi ekonomi-politik, blog para wartawannya memuat pengalaman yang lebih pribadi dan menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat di tempat mereka meliput.

Namun, kebebasan itu dapat disalahgunakan pembuat blog dengan memunggah informasi bohong (hoax). Informasi Sarah Palin tidak tahu Afrika adalah benua dan disiarkan stasiun televisi MNSBC setelah Pemilu AS usai ternyata hoax dari blog Martin Eisenstadt. Menurut The New York Times yang dikutip International Herald Tribune (14/11), blog tersebut benar-benar ada, tetapi Eisenstadt tidak nyata, bahkan hanya permainan.

Atau memuat isi yang bikin banyak orang tersinggung, seperti kartun Nabi Muhammad SAW. ”Kita punya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang disahkan Maret 2008. Yang dilarang adalah pelanggaran kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman, berita bohong dan menyesatkan, serta yang SARA,” kata Sylvia Sumarlin. Transaksi elektronik maksudnya semua data yang mengalir melalui jaringan komputer dan media elektronik lain.

Jadi hansip

Meskipun begitu, banyak kemungkinan informasi bohong dapat muncul di dunia maya. Karena tidak menimbulkan kehebohan atau tak ada yang mengadukan kebohongan itu, tidak ada penindakan dari aparat hukum.

”Ada dua pandangan mengenai ini. Yang pertama, para blogger adalah penanggung jawab informasi di blog-nya. Yang kedua, pengunjung situslah yang harus dapat menyensor informasi yang dia terima,” kata Wicaksono. Alasannya, sudah disepakati umum informasi di dunia maya adalah informasi yang tidak diedit, tidak disensor, dan tidak disaring.

Yusro M Santoso, salah satu pendiri InMark Communication yang menyediakan tempat gratis untuk blog, dagdigdug.com, tidak terlalu khawatir dengan blog nakal.

”Teman-teman blogger jadi hansip. Mereka akan berbagi informasi kalau ada info tidak benar sehingga blog itu kehilangan kredibilitas. Kalau ada blog porno, pasti langsung kami tangkal,” kata Yusro yang pernah jadi wartawan.

”Ranah maya sebenarnya sama seperti dunia nyata, ada etika. Tetapi, saya lebih cenderung pengunjung blog yang menyaring informasi. Kalau blogger belum-belum sudah dibatasi, tidak asyik; menyimpang dari sifat demokratis blog,” kilah Iqbal pemilik Warung Wedang Wi-fi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan blog wetiga.com.

Tarik-menarik itu akan terus berlangsung dan siapa yang dapat menduga ke mana ujungnya, termasuk juga pembangkitan nilai ekonomi dari sana.

Internet


Info Sesat di Dunia Maya
Minggu, 23 November 2008 | 10:37 WIB

Matahari akan bersinar 36 jam nonstop pada 17 Oktober 2008. Ini terjadi 2.400 tahun sekali. Kita beruntung dapat menyaksikan dan merasakannya. Beritahukan yang lain, ya!

Informasi yang beredar dari milis ke milis bulan lalu ini sempat menghebohkan. Sejumlah media arus utama pun sempat terpancing untuk menulis dan mengonfirmasikan berita ini kepada ahli astronomi. Hasilnya, informasi itu tidak benar.

Di rimba internet, informasi sampah semacam ini sangat banyak. Informasi yang dikategorikan hoax (cerita bohong) ini dengan leluasa menyelonong ke kotak surat elektronik setiap orang. Sering kali hoax membuat heboh dan merugikan banyak pihak.

Sebagian warga Yogyakarta, Mei lalu, misalnya, sempat khawatir karena beredar informasi di dunia maya bahwa 11 hari lagi akan ada gempa dahsyat yang memicu tsunami. Untuk lebih meyakinkan, berita itu mencatut nama jaringan televisi CNN. Menurut informasi itu, CNN memberitakan lempeng bumi Australia sedang bergerak ke arah utara menuju Asia dan akan menabrak Pulau Jawa.

Namun, hingga 11 hari berikutnya, Yogyakarta ternyata aman-aman saja. Pasalnya, informasi itu memang bohong.

Di Paris, Perancis, sebagian orang takut ke bioskop karena ada informasi yang menyebutkan banyak orang pantatnya tertusuk jarum yang ditebar di kursi bioskop. Yang menakutkan, jarum tersebut dilaporkan telah terkontaminasi HIV. Lebih seram lagi, akibat tertusuk jarum itu, para korban belakangan diketahui tertular HIV.

Hoax serupa juga menyebutkan, seorang gadis muda yang berencana menikah tertusuk jarum di Priya Cinema, New Delhi, India. Jarum itu diberi catatan ”Selamat Datang di Dunia Penderita HIV”.

Selanjutnya, hoax tersebut menjelaskan, empat bulan setelah tertusuk jarum, gadis itu meninggal karena syok berat. Hoax itu juga mewanti-wanti semua orang untuk berhati-hati dan waspada di tempat umum.

Ciri-ciri

Ada beberapa ciri hoax, antara lain informasinya sensasional, berisi peringatan-peringatan berbahaya tanpa dasar yang jelas, dan menuntut pengguna internet untuk menyebarkannya ke orang terdekat, keluarga, atau pengguna internet lain.

Begitulah rimba raya internet. Informasi yang melimpah ruah tidak selamanya membantu orang. Sebagian justru menyesatkan.

Wicaksono, blogger senior di Jakarta, mengatakan, pengakses tidak boleh polos dan percaya 100 persen informasi dari internet. ”Tidak selamanya internet membuat segalanya terang benderang,” kata dia. (BSW/DHF)

Dunia Nyata


Dari Dunia Maya lalu Kopi Darat


KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Para blogger memanfaatkan warung angkringan Warung Wedang Wi-fi di Jalan Langsat I, Jakarta Selatan, untuk kopi darat.
Minggu, 23 November 2008 | 03:00 WIB

Blogger boleh punya banyak teman yang didapat melalui dunia maya, tetapi itu ternyata tak memuaskan kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Karena itu, para blogger yang merasa punya kesamaan kepentingan atau aspirasi membuat komunitas di dunia nyata.

Komunitas itu muncul di berbagai daerah di Indonesia, seperti komunitas Cah Andong di Yogyakarta, Anging Mamiri di Makassar, Bali Blogger Community (BBC) di Bali, dan Komunitas Blogger BHI (Bundaran Hotel Indonesia) di Jakarta.

Saiful (31) yang bersama temannya, Bachtiar, mendirikan Komunitas BHI pada pertengahan 2006 mengatakan, awalnya dia membuat blog yang isinya adalah unek-unek perasaan sebagai ”orang kampung” yang merantau di Jakarta.

”Banyak sekali hal jauh berbeda di Jakarta dibandingkan dengan kehidupan saya di Cilacap,” kata Saiful yang karyawan Bank Indonesia itu.

Ternyata blog-nya menarik perhatian sejumlah perantau yang punya perasaan sama. Dari sana lalu terpikir untuk bertemu di dunia nyata. Mereka memilih tempat berkumpul di trotoar di depan Plaza Indonesia di seberang Bundaran Hotel Indonesia untuk kopdar (kopi darat). Karena itu, nama komunitas mereka yang sangat cair itu Komunitas BHI. Mereka bertemu di sana tiap Jumat malam sepulang kantor.

Dunia nyata

Dari bertemu secara rutin, mereka merasa harus melakukan sesuatu di dunia nyata.

”Kami tidak ingin dianggap NATO (no action talk only/omong doang),” kata Herman Saksono (27), salah satu moderator Cah Andong.

Selain kegiatan seminar dan bincang-bincang, Cah Andong juga mengadakan kegiatan dadakan seperti bakti sosial dan bersih pantai di Pantai Pandansari, Yogyakarta.

Sebagai kegiatan rutin, blogger Cah Andong mengelola situs wajahjogja.com. Di situs ini, para blogger Cah Andong meliput dan menulis profil orang Yogya.

Profil yang dimunculkan tidak harus orang terkenal atau orang berpendidikan di Yogyakarta, tetapi bisa juga profil rakyat kecil seperti penjaja koran, gelandangan yang jadi korban penertiban, nelayan yang sulit mendapat ikan, dan lain-lain.

Pilihan pada orang kecil bukan tanpa maksud. Dengan cara itu, blogger Cah Andong ingin menggugah kepedulian siapa saja akan nasib rakyat kecil. ”Jadi, jangan hanya mengandalkan pemerintah,” tutur Herman.

Komunitas BHI membangun kegiatan produktif untuk masyarakat tidak mampu di Desa Bangsari, Cilacap. Menurut anggota BHI, Iman Brotoseno, di desa miskin itu mereka membagikan bibit kambing untuk diternak warga desa. Uang hasil penjualan kambing digunakan warga desa untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Jumat malam lalu BHI mengadakan Muktamar Blogger II di depan Plaza Senayan. Menurut Saiful, ada sekitar 40 orang datang di acara yang dimulai pukul 21.00 hingga lewat tengah malam. Di situ mereka juga menutup kampanye Gerakan Seribu Buku yang berhasil mengumpulkan 1.500 buku untuk anak-anak sekolah.

”Kampanye itu kami posting di blog, siapa saja boleh menyumbang,” kata Saiful. Buku yang terkumpul itu dikirim ke sekolah-sekolah antara lain di Yogya, Cilacap, dan Jakarta.

Cah Andong juga memilih Jumat malam untuk acara rutin Juminten-an atau Jumat Midnite Tenguk-Tenguk (nongkrong). Biasanya sekitar 30 orang blogger Cah Andong bertemu di depan monumen Serangan Oemoem Satu Maret di perempatan Malioboro. (IND/BSW/NMP)

Dari "Blog" Menjemput Peluang


KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Minggu, 23 November 2008 | 03:00 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy & Budi SUwarna

”Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.”

Itu catatan identitas pemilik blog yang namanya tidak kalah membangkitkan keingintahuan, naked-traveler.blogspot.com.

”Sengaja saya memakai nama Trinity, nama yang mengingatkan pada tokoh film Matrix, untuk menarik minat dan diklik orang ketika mereka mencari pakai mesin pencari,” kata Perucha, pemilik situs tersebut.

Menurut Trinity, begitu dia lebih suka disebut, tidak mungkin pakai nama perempuan, misalnya, Yanti, karena orang biasanya tidak akan mencari nama itu dalam mesin pencari.

Nama blog-nya juga provokatif. Naked, dari bahasa Inggris, yang artinya telanjang. Tetapi, seperti ditulis Trinity di blog-nya, tidak ada ketelanjangan di sana.

Pasti bukan karena nama yang provokatif dan mengundang imajinasi nakal itu yang membuat orang datang ke blog tersebut yang sampai Sabtu petang lalu sudah diklik 279.262 pengunjung.

Cerita perjalanan dengan sentuhan pribadi dalam blog yang dibuat mulai tahun 2006 itu memang menarik. Simak judul You.Me.Marry, misalnya. Trinity bertutur tentang pengalamannya sebagai traveler perempuan yang bepergian dengan sesama teman perempuan, berulang kali diajak menikah oleh lelaki berkulit hitam. Entah di Roma, Italia, atau di Amerika. Mulai dari cara merayu sampai digotong lelaki kulit hitam untuk dipaksa menikah dituturkan Trinity di situ.

Bernilai ekonomi

Dari awalnya hanya sebagai cara mencurahkan berbagai pengalaman selama berkelana, akhirnya blog yang populer itu mengilhami lahirnya buku.

”Ada 70 cerita yang di-copy-paste dari cerita tahun 2005-2006 dalam blog saya menjadi buku The Naked-Traveler,” kata Trinity. Buku terbitan Bentang Pustaka tahun 2007 itu sudah dua kali cetak ulang dengan jumlah 30.000 buku.

Pengalaman mirip juga berlaku pada Raditya Dika (23). Mahasiswa semester V Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia membangun blog pribadi kambingjantan.com sejak 2002. Blog ini berisi pengalaman sehari-hari yang dia tuliskan secara lucu.

Tak dinyana blog ini menarik banyak pengunjung dan mendapat penghargaan The Best Indonesian Blog dari blog theflyingchair.net yang rajin memberi peringkat pada blog di berbagai negara.

Popularitas blog kambingjantan lalu menarik minat penerbit Gagas Media tahun 2005 menerbitkan buku yang memakai judul sama dan isinya diambil dari blog.

Bukunya pun tak kalah laku. Raditya memperkirakan tahun ini buku itu telah dicetak 19 kali dan memberi dia royalti lebih dari Rp 100 juta.

Pembangkitan nilai ekonomi yang tidak direncanakan dari awal juga terjadi pada blog ndorokakung.com milik blogger senior, Wicaksono.

Meskipun disampaikan secara ringan, blog itu memberi informasi seputar dunia politik, kebanyakan isu dalam negeri. Komentar terbarunya antara lain tentang blog kartun Nabi Muhammad SAW yang membuat banyak orang marah. Tidak seperti dugaan banyak orang, menurut ndorokakung.com kartun itu sudah muncul beberapa bulan. Kehebohan meledak setelah media arus utama mengangkatnya sebagai berita.

Cara mengisi blog yang konsisten, informasinya dapat dipercaya dan selalu diperbarui, serta disajikan ringan membuat blog Wicaksono memiliki banyak pengunjung. Pemeringkatan yang dilakukan blog indonesiamatters.com menempatkan ndorokakung.com pada peringkat kelima blog terpopuler di Indonesia.

Pemeringkatan itu, menurut Wicaksono, dapat dipakai calon pemasang iklan menempatkan iklan mereka. Ndorokakung.com pun mendapat iklan meskipun belum ajek.

Nilai ekonomi yang muncul dari kegiatan kreatif ini dapat melebar ke arah yang semula tak dibayangkan pembuatnya. Cerita dalam dalam buku itu kini dijadikan film berjudul sama yang ditargetkan putar perdana di bioskop awal 2009.

Raditya menulis skenario film itu bersama Salman Aristo dengan sutradara Rudy Sujarwo. ”Saya tidak menjual putus cerita itu, tetapi menggunakan sistem royalti,” kata Raditya.

Alat pemasaran

Karena sifatnya yang menular seperti virus—mereka mengistilahkan viral communication—blog juga bisa ampuh sebagai alat pemasaran.

Iqbal Prakarsa membuat blog wetiga.com untuk mempromosikan warung angkringannya yang menjual nasi kucing—nasi dalam porsi mini—dan wedang jahe di Jalan Langsat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Pengunjung Warung Wedang Wi-fi (Wetiga) mendapat fasilitas internet gratis, tetapi harus bawa laptop sendiri.

Pengunjung Wetiga akan dipotret lalu fotonya dimasukkan dalam wetiga.com. Kiat itu berhasil dan warung yang baru buka malam sejak dua bulan itu beromzet rata-rata Rp 500.000-Rp 600.000 semalam.

Dengan cara itu pula kampanye Gerakan Seribu Buku Komunitas Blogger BHI (Bundaran Hotel Indonesia) berhasil mengumpulkan 1.500 buku. Salah satu penyumbangnya Dubes Amerika untuk Indonesia Cameron R Hume. Dubes Hume mendatangi warung angkringan itu dan dalam foto di wetiga.com terlihat ikut makan tempe.

Hak cipta

Meskipun memberi banyak peluang tak terduga, blog juga membawa risiko, yaitu pembajakan karya.

Raditya langsung menutup kambingjantan.com ketika menyadari potensi pembajakan itu setelah blog-nya ternyata bernilai ekonomi. Sebagai ganti, dia membuat raditya.com sebagai alat pemasaran untuk buku-buku dan filmnya.

Sementara Trinity tidak khawatir isi blog-nya dibajak dengan alasan bahasa, sudut pandang, serta lokasi yang diceritakan amat personal, sutradara film iklan, Iman Brotoseno (42), sempat jengkel karena blog-nya dimanfaatkan orang tanpa izin.

Lebih nekat lagi, informasi itu diterbitkan sebagai bagian dari buku. Ketika sedang berjalan-jalan di Jakarta, Iman menemukan buku berjudul Soekarno Uncensored, Benarkah Soekarno Lebih dari Soeharto?. Bab ”Akhir yang Tragis” di halaman 99-102 ternyata mengutip mentah-mentah tulisan dari blog Iman.

Iman mengaku terlalu sering tulisannya dalam blog dicomot tanpa izin. ”Tetapi, kali ini keterlaluan karena sampai dibuat buku. Saya hanya butuh pengakuan, seharusnya penulis buku itu mencantumkan sumbernya,” tandas pemilik blog imanbrotoseno.com. Setelah Iman mengirim surat teguran, penulis buku itu mengakui kekeliruannya dan menarik buku dari peredaran.

”Sebenarnya dunia maya juga terikat aturan hukum. Karya tulisan, gambar, atau film dilindungi oleh World Intellectual Property Organization sebagai hak kekayaan intelektual. Sama seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik Tahun 2008, perlindungan WIPO tidak dibatasi wilayah geografis,” jelas Ketua Umum Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia Sylvia Sumarlin.

Nah, meskipun dunia maya memberi kebebasan seluas-luasnya, ternyata tetap ada etika dan aturan yang tidak bisa diabaikan.(IND)

Minggu, 16 November 2008

Nge-blog yang Semakin Memudahkan Komunikasi


Manfaat Menyimpan Data
Sabtu, 15 November 2008 | 09:55 WIB

SEMARANG, KOMPAS - Web blog atau yang biasa dikenal dengan blog, bentuk aplikasi web yang berisi beragam posting, semakin dikenal masyarakat luas dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Meskipun bersifat personal, media interaktif ini dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif.

Sejak pertama kali dipopulerkan oleh www.blogger.com tahun 2002, setiap tahun blog semakin familiar. Terbukti dari munculnya berbagai situs yang menyediakan layanan serupa seperti blogspot.com, multiply.com atau wordpress.com.

Sosiolog dari Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro Semarang Hedi Pujo Santosa di Kota Semarang, Jumat (14/11), mengatakan, perkembangan teknologi mau tidak mau mengubah budaya masyarakat dalam berkomunikasi. Dalam hal ini, keberadaan internet memberikan andil besar.

"Blog sebagai salah suatu media personal dapat menjadi semacam perluasan ruang publik. Misalnya, jika seseorang memiliki pemikiran tentang sebuah wacana publik, ketika diposting, umpan balik yang diterima dapat sesegera mungkin," kata Hedi.

Hedi menambahkan, blog kemudian menjadi sarana yang efektif dan efisien dalam menyebarkan suatu informasi. Melalui bantuan mesin pencari (search engine semacam google), publik akan lebih mudah mengakses. Belum lagi jangkauan internet yang tidak terbatas memungkinkan pengguna blog berinteraksi dengan orang di belahan dunia lain.

"Telah terjadi pergeseran, dari komunikasi secara konvensional dengan bertatap muka menjadi komunikasi dengan media. Tentu ada beberapa hal yang bisa didapat saat berkomunikasi secara tradisional tidak didapat saat berkomunikasi dengan media blog, misalnya kedekatan emosional lawan bicara. Romantisme demikian tidak didapat ketika orang menggunakan media," ujar Hedi.

Hedi menjelaskan, komunikasi secara konvensional masih memiliki ruang tersendiri, terutama pada momen-momen tertentu. Komunikasi dengan blog pun menjadi sebuah tuntutan karena saat ini masyarakat membutuhkan kecepatan, efisiensi, dan efektivitas.

Merebaknya pengguna blog dengan berbagai kepentingan juga membutuhkan kontrol diri penggunanya. Pasalnya, informasi yang disajikan dalam blog tidak semuanya berguna dan akurat. Jadi, pengguna bloglah yang harus pandai-pandai memilah antara informasi yang benar atau hanya informasi sampah.

Seorang wartawan pengguna blog, Anton Sudibyo (25), mengatakan, blog memberinya media untuk mengaktualisasikan diri lewat tulisan. "Lewat blog saya dapat menulis dengan bebas, menulis apa saja. Sifatnya lebih personal, bukan untuk berbisnis atau kepentingan lain," katanya.

Melalui media itu pula, Anton lantas memperluas jaringan pertemanannya di berbagai wilayah sejak bergabung dengan multiply.com dua tahun lalu.

Mereka yang memiliki keterikatan terhadap satu hal yang sama, para blogger (pengguna blog) pun membentuk sebuah komunitas. Salah satunya loenpia.net, yakni wadah bagi blogger yang memiliki keterikatan terhadap Kota Semarang.

"Kami bisa berbagi tentang banyak hal, terutama karena setiap anggota berasal dari berbagai latar belakang berbeda-beda," kata Budiono (30), salah satu pencetus loenpia.net. Manfaat lain

Jika blog pada umumnya lebih sering digunakan sebagai alat untuk menyampaikan opini dan pemikiran, Agung Hima (37), seorang pelatih teater yang tinggal di Gombel Permai, Kota Semarang, menemukan manfaat lain dari blog.

"Saya sering bermasalah dengan penyimpan data atau flash disk. Saya memakai blog untuk menyimpan semua tulisan yang saya buat agar aman," kata Agung yang mengenal blog sejak tahun 2000.

Di dalam blognya yang berjudul "Hurts", Agung menyimpan berbagai tulisan pendek dan puisinya. Setiap hari ia mampu menulis empat tulisan. Ia perlu waktu sekitar 1 jam untuk menulis blognya di warung internet.

"Paling tidak ada 10 orang yang membaca tulisan saya setiap hari," kata Agung yang mengajar teater antara lain di SMA Negeri 1, 2, dan 3 di Kota Semarang itu. Selain menampilkan tulisan, blog yang dibuatnya juga memuat foto-foto teater dan resensi buku.

Blog dan tulisan miliknya juga membuat salah satu penerbit tertarik untuk memublikasikannya dalam bentuk buku. Ia mengaku bertemu dengan agen penerbit itu saat mengunjungi pameran buku murah di Semarang pekan lalu.

"Sebelumnya sudah ada beberapa kontak penerbit di dalam blog saya. Dari kontak itulah, penerbit lain mengenal saya dan tertarik untuk bekerja sama," kata Agung. Ada satu lagi blog miliknya, tetapi dia sengaja tidak memublikasikan. Blog itu dibuat khusus untuk menyimpan novel yang sedang dia buat.

"Hanya teman dekat yang tahu blog ini," ujar Agung. (UTI/DEN)

Rabu, 12 November 2008

Media Massa


Kesehatan Psikologis Publik Harus Dijaga
Selasa, 11 November 2008 | 00:11 WIB

Jakarta, Kompas - Media massa memang seperti pisau bermata dua, memiliki fungsi dan disfungsi sekaligus. Fungsi media menginformasikan realitas pada akhirnya memberi dampak sampingan yang negatif. Dengan kesadaran itu, media perlu lebih mengendalikan diri. Sebab, bagaimanapun media juga harus menjaga kesehatan psikologis masyarakat.

Hal itu dikemukakan Ibnu Hamad, pengajar Etika Media dari Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Senin (10/11). Ibnu mengemukakan pendapatnya terkait gejala peniruan atau imitasi praktik kejahatan dan kekerasan oleh masyarakat melalui media massa.

”Dalam hal berita kriminal, tidak lantas media tidak memberitakan sama sekali. Tetapi, ini soal penyajiannya,” kata Ibnu.

Ibnu mengatakan, upaya media mengaburkan gambar-gambar yang mengerikan saja tidak cukup. Media juga sepatutnya tidak menampilkan, termasuk secara grafis, soal rekonstruksi tentang teknis sebuah kejahatan dilakukan. Hal ini untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan publik terinspirasi oleh pemberitaan kriminal atau kekerasan.

”Publik memang perlu dipenuhi kebutuhannya untuk tahu informasi. Namun, harus diingat, publik juga harus dijaga kesehatan moralnya,” kata Ibnu.

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Fachmi Idris menyebutkan, lembaga-lembaga yang terkait dengan media massa harus memberikan sanksi yang konsisten kepada media yang merasionalisasikan pemberitaan tanpa mengindahkan dampak negatif terhadap kesehatan jiwa, dan psikososial masyarakat. ”Sudah banyak kajian yang membuktikan pemberitaan kerap menimbulkan coping mechanism (peniruan) yang cenderung patologis, baik terhadap individu maupun masyarakat luas,” kata Fachmi.

Kekacauan nilai

Harry Susianto, psikolog sosial dari Universitas Indonesia, mengungkapkan, masyarakat yang terus-menerus dicekoki nilai-nilai kekerasan lama-kelamaan menganggapnya lumrah dan tidak lagi sensitif. Akibat luasnya, nilai dan norma menjadi kacau. Baik dan benar menjadi rancu.

”Media harus berani bersikap untuk mengabaikan hal-hal yang bisa berdampak buruk bagi publik,” ujar Harry.

Ratna Mardiyati, Direktur Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heertjan, Jakarta, menjelaskan, kondisi sosial ekonomi yang sudah penuh tekanan menjadi rentan dipicu oleh tontonan kekerasan di media massa. Contoh sederhana, tindakan mendorong-dorong pagar ketika berunjuk rasa seakan menjadi tren di setiap demonstrasi. Tren itu diadopsi dari media. (SF/ONG)

Agenda Baru Etika Media Massa


Rabu, 12 November 2008 | 00:43 WIB

R Kristiawan

Kegelisahan masyarakat terkait praktik media massa akhirnya muncul juga.

Media massa dianggap sebagai salah satu agen yang amat berperan dalam imitasi perilaku sosial, termasuk kriminalitas. Harian Kompas dan Tb Ronny Nitibaskara (10/11/2008) menulis, media massa, terutama televisi, berperan dalam imitasi perilaku kejahatan, termasuk mutilasi.

Telaah tentang pengaruh media massa bagi perilaku sosial sebenarnya sudah menjadi kajian lama. Riset Albert Bandura tahun 1977 menemukan, televisi mendorong peniruan perilaku sosial, bahkan pada tahap akhir mampu menciptakan realitas (teori pembelajaran sosial kognitif). Untuk konteks Indonesia, debat tentang tema itu masih berlangsung tanpa refleksi berarti bagi media massa, terutama televisi.

Dua wilayah etika media

Hingga kini, fokus perhatian etika media massa ada pada wilayah teknik jurnalistik. Wilayah teknis dalam etika media massa ini terkait proyek bagaimana menghasilkan berita yang sesuai dengan fakta dan mengurangi bias sekecil mungkin. Nilai berita, yaitu kebaruan, kedekatan, kebesaran, signifikansi, dan human interest, menjadi rambu-rambu teknis untuk menentukan kelayakan berita.

Pada wilayah itu, pembangunan etika didasarkan prinsip-prinsip teknis, yaitu akurasi, keberimbangan, dan keadilan (fairness). Tujuan utamanya adalah membangun obyektivitas dan kebenaran (truth). Hingga kini, berbagai jenis pelatihan etika jurnalistik hanya berorientasi pada masalah etika dalam wilayah teknik jurnalistik.

Dalam kompetisi industri media yang kian seru, pertimbangan teknis sering hanya didasari etika teknis. Sebuah talkshow di televisi baru-baru ini membahas mutilasi dengan mengundang dua narasumber: seorang kriminolog dan ahli forensik. Sang ahli forensik dengan dingin memaparkan aneka jenis modus mutilasi dengan amat rinci, termasuk cara pemotongan bagian-bagian tubuh.

Jika memakai kaidah etika teknik, tidak ada yang salah dengan acara itu karena memenuhi kaidah akurasi. Namun, sulit disanggah, susah menemukan makna publik di balik pemaparan berbagai teknik mutilasi itu bagi masyarakat. Tak heran jika Sri Rumiyati memutilasi suaminya karena terinspirasi Ryan lewat tayangan televisi.

Masalahnya, ada di wilayah etika kedua terkait makna publik. Wilayah ini melampaui wilayah teknik dan berusaha menampilkan media massa terkait makna publik (public meaning) di balik berita. Etika pada level ini tidak lagi berurusan dengan operasi teknis, tetapi sebagai landasan moral dalam menghadapi fakta publik (Ashadi Siregar, 2008).

Jadi, masalahnya bukan bagaimana menyusun reportase sesuai fakta, tetapi menyampaikan analisis berita (news analysis) agar mempunyai makna publik. Dengan demikian persoalannya bukan apakah sebuah berita sesuai dengan fakta, tetapi apakah berita itu memiliki nilai publik.

Dalam konteks televisi, temuan Bandura tiga puluh tahun lalu seharusnya menjadi peringatan bahwa menampilkan fakta apa adanya ternyata tidak cukup. Menampilkan ahli forensik dalam talkshow TV dan memaparkan teknik mutilasi secara rinci harus dihadapkan pada konteks makna publiknya.

Berita dan kompetisi wacana

Konsekuensi dari etika jenis kedua adalah melihat berita sebagai wacana (discourse) dalam konteks kompetisi perebutan makna adalah kehidupan publik. Berita diposisikan sebagai unit yang mampu memengaruhi proses pembentukan makna dalam kehidupan publik. Kehidupan publik merupakan kawanan makna yang dihasilkan dari perebutan makna oleh berbagai pemegang alat produksi makna.

Postmodernitas mengajarkan, makna selalu relatif bergantung pada siapa yang keluar sebagai pemenang dari medan pertempuran makna. Media massa tidak bisa bersikap naif dengan melarikan diri dari pertempuran itu dan dengan selubung teknik jurnalisme. Persis saat media massa merupakan salah satu lembaga yang signifikan dalam produksi makna, di situ masalah etika publik menjadi relevan.

Dalam perang makna, ada tiga peserta utama, yaitu negara, pasar, dan masyarakat. Tiga hal ini saling berseteru memperebutkan makna sesuai kepentingan masing-masing. Kehidupan publik yang ideal adalah fungsi dari keseimbangan tiga sektor itu.

Di manakah posisi media massa? Secara struktural, sebenarnya bangunan kehidupan media massa sudah ideal. Negara sudah menumpulkan sengat politiknya lewat UU Pers No 49/1999 dan UU Penyiaran No 32/2002. Artinya, hegemoni negara sudah bisa dilucuti. Untuk media penyiaran, aspirasi masyarakat sipil sudah termanifestasikan melalui KPI (meski KPI sering kelimpungan menghadapi industri yang keras kepala). Secara bisnis, bisnis media massa Indonesia sudah amat leluasa, bahkan cenderung mendominasi. Tiga pilar itu sudah hidup dengan leluasa dalam habitat media massa Indonesia.

Ketika fasilitas makro sudah diberikan dan ternyata masih timbul masalah, pendulum harus diarahkan pada wilayah internal media massa sendiri. Dalam iklim kebebasan media, mekanisme swa-sensor menjadi acuan utama dalam menentukan kelayakan berita, meninggalkan sensor eksternal dari negara. Dengan demikian, etika menjadi signifikan dalam proses self-censorship. Masalah muncul karena yang dominan dipakai media massa Indonesia adalah etika teknis yang amat rentan bagi publik dalam konteks kompetisi industrial.

Di sisi lain, menyambut liberalisasi, kita dihadapkan fakta, ada perbedaan bentuk kontrol negara dan kontrol pasar. Kontrol negara bersifat koersif, sedangkan kontrol pasar bersifat intrusif. Intrusivitas kontrol pasar itu menjelma dalam watak berita yang berorientasi pada kompetisi pasar, berlandaskan etika teknis sehingga berita sering kehilangan makna publiknya.

R Kristiawan Senior Program Officer for Media, Yayasan TIFA, Jakarta; Mengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

Industri Kejahatan di Televisi

Industri Kejahatan di Televisi
Rabu, 12 November 2008 | 00:44 WIB

Triyono Lukmantoro

Berbagai berita kejahatan yang disajikan media, terutama televisi, dinilai mampu menginspirasi khalayak melakukan aksi-aksi kriminalitas.

Hal ini terbukti dari mutilasi yang dilakukan Sri Rumiyati (48). Perempuan yang akrab disapa Yati itu mengaku menirukan cara Very Idam Henyansyah (Ryan) dalam membunuh salah satu korbannya. Yati memotong mayat suaminya, Hendra, guna menghilangkan jejak.

Dalam catatan Litbang Kompas, sejak Januari hingga November 2008 terjadi 13 peristiwa pembunuhan mutilasi di Indonesia. Angka tertinggi untuk periode tahunan sejak kasus mutilasi muncul tahun 1967. Pada tahun 2007 terjadi tujuh peristiwa mutilasi (Kompas, 10/11/2008). Apakah tingginya kasus mutilasi merupakan akibat televisi gencar menayangkan kasus-kasus yang ditiru anggota masyarakat lainnya? Lebih mengerikan lagi, kejahatan telah menjadi industri tontonan yang dihadirkan televisi?

Tidak mudah menyimpulkan, berita kejahatan yang disajikan televisi berpengaruh langsung bagi khalayak. Ada tiga perspektif yang dapat dikemukakan. Pertama, media dipandang memiliki kekuatan penuh mendikte perilaku khalayak. Dalam hal ini, khalayak dianggap pasif sehingga merespons begitu saja stimulus yang digelontorkan media. Situasi masyarakat yang penuh alienasi, isolasi, depresi, dan tingkat pengangguran tinggi merupakan lahan subur bagi media dalam menancapkan pesan-pesan kejahatan.

Kedua, media dipandang amat lemah untuk memengaruhi khalayak. Dalam kondisi ini, khalayak bisa bersikap aktif untuk menegosiasikan atau menolak pesan-pesan kejahatan yang disajikan media. Daya intelektualitas, level ekonomi, atau usia merupakan faktor determinan yang tidak dapat dikesampingkan.

Ketiga, media memiliki dampak terbatas bagi khalayak. Hal ini dapat terjadi karena media dipandang sebagai salah satu faktor, selain faktor-faktor lain, seperti kematangan psikologis, konteks sosial yang melingkupi individu-individu, dan daya selektivitas khalayak terhadap muatan media sehingga media bisa berpengaruh pada tingkat gagasan, sikap, atau perilaku.

Fenomena yang tidak boleh dianggap sepele adalah televisi terlalu permisif untuk menampilkan kasus-kasus kriminalitas. Adegan rekonstruksi yang secara rutin ditampilkan televisi telah menjadi tontonan keseharian. Industrialisasi kejahatan menjadi kian marak digulirkan televisi. Kejahatan dikemas secara masif dan berulang-ulang dalam ruang keluarga. Alasan utama yang menjadi dalih klise ialah tontonan kejahatan amat diminati khalayak. Hasrat penonton menjadi justifikasi yang tidak boleh disanggah. Rating, sharing, atau perhitungan komersial mengakibatkan kriminalitas mudah dikonsumsi.

Mistifikasi pasar

Ketika para pengelola televisi berdalih tingginya berita-berita kejahatan yang ditampilkan karena permintaan konsumen, maka terjadilah mistifikasi pasar. Artinya, pasar dianggap sebagai kekuatan penentu yang tidak dapat dibantah. Padahal, dalam pasar itu ada mekanisme penawaran dan permintaan. Selera pasar bisa diciptakan dan diarahkan. Pasar tontonan seolah berlangsung secara alami, padahal yang sebenarnya berlangsung di pasar kemungkinan dapat direkayasa.

Pasar mendorong jurnalisme berita kejahatan sekadar mengabdi kepentingan modal dan pelipatgandaan keuntungan. Kenyataan ini berlangsung konsisten karena, seperti dikatakan John H McManus (Market-Driven Journalism: Let the Citizen Beware?, 1994), pasar memiliki enam karakteristik, yaitu (1) kualitas dan nilai ditentukan konsumen ketimbang produsen atau pemerintah; (2) responsif terhadap konsumen; (3) koreksi diri karena pasar bersifat fleksibel; (4) motivasi konstan dari pelaku pasar untuk berkompetisi; (5) mengandalkan efisiensi; dan (6) konsumen bebas untuk menentukan pilihan.

Namun, nilai yang sering diabaikan pasar ialah moralitas. Pasar televisi tak pernah menggubris apakah tayangan berita kriminalitas berdampak buruk bagi khalayak. Doktrin utama pasar adalah semua tontonan dijual bagi konsumen. Apakah konsumen menjadi berperilaku jahat karena meniru adegan sadisme yang ditayangkan, para produsen tontonan tidak peduli. Bahkan, produsen cenderung menyalahkan khalayak yang dianggap tidak bisa bersikap kritis terhadap berita-berita kriminalitas. Itulah yang dalam bisnis dinamakan externalities, yakni kehancuran dan imoralitas sosial yang terjadi dianggap di luar tanggung jawab media. Televisi tidak pernah keliru karena konsumen sendiri yang dinilai tahu risikonya.

Dilanda anomi

Industrialisasi kejahatan yang dijalankan televisi secara potensial dan nyata mampu menciptakan inspirasi bagi aksi- aksi kejahatan berikutnya. Hal ini mudah dipicu saat masyarakat dilanda anomi, yakni situasi tanpa norma. Pada situasi anomi, tatanan komunitas dan sosial merosot, digantikan rasa keterasingan dan kekacauan. Dalam situasi anomi, terjadi penekanan berlebihan pada tujuan-tujuan hidup, tetapi cara-cara meraih tujuan itu tidak mampu disediakan secara mencukupi. Salah satu kekuatan kunci yang terlibat dalam penanaman tujuan-tujuan hidup adalah media. Media pula yang mengajarkan bagaimana menjalankan kejahatan untuk meraih tujuan hidup itu (Yvonne Jewkes, Media and Crime, 2005).

Televisi berulang memberi contoh bagaimana cara menerabas dapat digunakan untuk meraih tujuan hidup yang dianggap sukses. Meski itu dianggap tindak kejahatan, yang berarti pelanggaran terhadap hukum dan norma-norma, tetap saja diimitasi individu-individu tertentu. Sebab, mereka berpikir tiada cara lain yang lebih baik ketimbang beraksi sebagai kriminal. Di situlah televisi menanamkan perilaku kejahatan dan masyarakat melakukan pembelajaran. Mereka yang melakukan peniruan itu biasanya dari kelompok marjinal yang tidak punya akses untuk meraih tujuan hidup yang baik.

Lazimnya, industri kejahatan yang diandalkan televisi adalah kasus-kasus kriminalitas jalanan yang melibatkan kaum pinggiran. Bukankah kejahatan jalanan mudah memancing sensasi karena melibatkan kekerasan fisik yang berdarah-darah? Klop dengan dogma industri kejahatan di televisi yang berbunyi: If it bleeds, it leads. Semakin berdarah-darah semakin meriah!

Triyono Lukmantoro Dosen Sosiologi Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang