Senin, 14 April 2008

Di Bawah Ancaman UU ITE

Oleh Agung B. Raharjo

ADA kekhawatiran dari para "blogger" di dunia maya setelah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan pada 25 Maret 2008 yang lalu.

Kekhawatiran itu, antara lain muncul akibat ketentuan Pasal 27 (3) UU ITE yang mengancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun penjara dan/atau denda satu miliar kepada setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistibusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan/pencemaran nama baik.

Kekhawatiran para blogger tersebut tentu sangat beralasan karena keberadaan pasal tersebut berpotensi melanggar hak setiap orang, khususnya para blogger untuk berekspresi. Termasuk di dalamnya kebebasan untuk mencari, menerima, mengolah, dan menyebarluaskan informasi melalui media apa pun. Hak mana telah dijamin dan dilindungi pelaksanaannya dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia serta dua dokumen hak asasi manusia internasional yang paling utama, yaitu Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Setidaknya ada dua alasan penting yang menyebabkan ketentuan Pasal 27 (3) UU ITE berpotensi melanggar hak atas kebebasan berekspresi. Pertama, pasal tersebut tidak memberikan pengertian yang jelas dan tegas mengenai apa yang dimaksud dengan "penghinaan" dan "pencemaran nama baik". Keadaan ini tentu dapat menimbulkan berbagai macam tafsir terhadap pengertian penghinaan dan pencemaran nama baik. Konsekuensi dari keadaan tersebut mengakibatkan seseorang sulit untuk mengetahui batasan yang jelas mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh mereka perbuat.

Selain itu, sifat elastis dari pasal ini jelas dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang supersensitif dan antikritik untuk membungkam setiap bentuk pendapat yang mereka anggap sebagai suatu penghinaan/pencemaran nama baik, walaupun pendapat tersebut sebenarnya adalah bentuk apresiasi dalam rangka perubahan menuju ke arah yang lebih baik.

Kedua, ancaman hukuman terhadap pelanggaran pasal 27 (2), yaitu selama 6 tahun penjara dan/atau denda 1 miliar tentu bentuk ancaman hukuman yang terlalu berat. Ancaman yang berat ini jelas memberikan efek rasa takut kepada siapa pun yang akan melaksanakan hak untuk berekspresi. Apalagi, nantinya telah ada pihak yang diperiksa, diadili, dan dijatuhi hukuman berdasarkan ketentuan pasal tersebut. Dampak dari efek rasa takut tersebut pada akhirnya jelas dapat meredam dan mengurangi hak atas kebebasan berekspresi itu sendiri.

Pemberian ancaman hukuman yang berat tersebut sungguh ironis karena saat ini ada kecenderungan di negara-negara lain untuk menghapus sanksi pidana penjara atas penghinaan/pencemaran nama baik. Langkah ini diambil karena sanksi pidana penjara sudah dipandang sebagai tindakan yang tidak proporsional dalam memberikan perlindungan kepada reputasi seseorang.

Sebagai alternatif pengganti sanksi pidana penjara dapat digunakan, antara lain melalui mekanisme koreksi, permohonan maaf, hingga mekanisme pertanggungjawaban perdata sebagai cara untuk memperbaiki kerusakan yang timbul sebagai akibat perbuatan penghinaan/pencemaran nama baik dengan mengganti kerugian. Ganti rugi tersebut tentu harus diberikan secara proporsional kepada orang yang terbukti reputasinya dirusak atau dihancurkan.

Tak dapat disangkal lagi bila saat ini di Indonesia para blogger dengan aktivitas blogging-nya memiliki peran yang penting dalam pembentukan opini publik. Tak jarang, aktivitas blogging melahirkan gagasan-gagasan cemerlang dan turut memacu diskusi-diskusi bermutu di berbagai macam bidang termasuk bidang pemerintahan dan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan publik.

Selain itu, blogger juga berperan besar dalam upaya meningkatkan budaya baca dan tulis masyarakat pengguna internet. Keberadaan ketentuan Pasal 27 (3) UU ITE tentu kontraproduktif dengan fakta-fakta di atas. Kekaburan rumusan pasal dan ancaman hukuman yang berat menjadikan pasal tersebut sebagai bentuk ancaman yang nyata bagi para blogger dalam melaksanakan aktivitasnya.

Oleh karena itu, salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan melakukan mekanisme uji materi (judicial review) Pasal 27 (3) UU ITE melalui Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk menilai konstitusionalitas pasal tersebut. Pasal tersebut nantinya akan diuji dengan pasal-pasal UUD 1945 yang menjamin kebebasan untuk berekspresi dan dapat dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat bila terbukti pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Indonesia adalah negara hukum. Salah satu ciri khas dari negara hukum adalah adanya penghormatan, perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk salah satunya adalah hak atas kebebasan berekspresi. Para pembuat kebijakan di setiap tingkat perlu memahami bahwa hak atas kebebasan berekspresi adalah hak yang bersifat universal dan fundamental. Jaminan terhadap pelaksanaannya tidak hanya sebagai elemen yang esensial bagi terbentuknya masyarakat yang demokratis, namun juga bagi perkembangan dan pembangunan masyarakat yang demokratis itu sendiri.***

Penulis, alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, "blogger" pada situs multiply.com

Tidak ada komentar: